Powered By Blogger

SELAMAT DATANG

WELCOME TO MY BLOG,,,
AHLAN WA SAHLAN
SELAMAT DATANG DI BLOG ALI MUJAHIDIN

Entri Populer

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Mei 2011

Ali Mujahidin: Seorang anak dan Pohon Apel

Ali Mujahidin: Seorang anak dan Pohon Apel

Seorang anak dan Pohon Apel


ANAK DAN POHON APEL
Dahulu kala, ada sebuah pohon apel besar. Seorang anak kecil suka datang dan bermain-main setiap hari. Dia senang naik ke atas pohon, makan apel, tidur sejenak di bawah bayang-bayang pohon apel. Ia mencintai pohon apel iu dan pohon itu senang bermain dengan dia. Waktu demi waktu berlalu….
Anak kecil itu sudah dewasa dan dia berhari-hari tidak lagi bermain di sekitar pohon. Suatu hari anak itu datang kembali ke pohon dan ia tampak sedih.
“Ayo bermain dengan saya,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan lagi seorang anak, saya tidak ‘bermain di sekitar pohon lagi.” Anak itu menjawab Aku ingin mainan. Aku butuh uang untuk membelinya.
” Maaf, tapi saya tidak punya uang, tapi Anda bisa mengambil buah apel saya dan menjualnya. Maka Anda akan punya uang”. Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua apel di pohon dan pergi dengan gembira. Anak itu tidak pernah kembali setelah ia mengambil buah apel. Pohon itu sedih.
Suatu hari anak itu kembali dan pohon itu sangat senang.
“Ayo bermain-main dengan saya” kata pohon apel.
“Saya tidak punya waktu untuk bermain. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Dapatkah Anda membantu saya?” kata anak lelaki itu
“Maaf tapi aku tidak punya rumah. Tetapi Anda dapat memotong cabang-cabang saya untuk membangun rumahmu.” Kata pohon
Lalu, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting dari pohon dan pergi dengan gembira. Pohon itu senang melihatnya bahagia, tapi anak itu tidak pernah kembali sejak saat itu.
Pohon itu kesepian dan sedih. Suatu hari di musim panas, anak itu kembali dan pohon itu begitu gembira. “Ayo bermain-main dengan saya!” kata pohon. “Saya sangat sedih dan mulai tua. Saya ingin pergi berlayar untuk bersantai dengan diriku sendiri. Dapatkah kau memberiku perahu?” … “Gunakan batang pohonku untuk membangun perahu. Anda dapat berlayar jauh dan menjadi bahagia.” Lalu anak itu memotong batang pohon untuk membuat perahu. Dia pergi berlayar dan tak pernah muncul untuk waktu yang sangat panjang.
Akhirnya, anak itu kembali setelah ia pergi selama bertahun-tahun.
“Maaf, anakku, tapi aku tidak punya apa-apa untuk Anda lagi. Tidak ada lagi apel untuk ananda.” kata pohon

”Saya tidak punya gigi untuk menggigit “jawab anak itu.”
” Tidak ada lagi batang bagi Anda untuk memanjat” .
“Saya terlalu tua untuk itu sekarang” kata anak itu.”
“Saya benar-benar tak bisa memberikan apa-apa ….. satu-satunya yang tersisa adalah akar sekarat” kata pohon apel dengan air mata.
“Aku tidak membutuhkan banyak sekarang, hanya sebuah tempat untuk beristirahat. Saya lelah setelah sekian tahun.” Anak itu menjawab.
“Bagus! Akar Pohon Tua adalah tempat terbaik untuk bersandar dan beristirahat di situ.” “Ayo, ayo duduk bersama saya dan istirahat” Anak itu duduk dan pohon itu sangat gembira dan tersenyum dengan air mata.

Hikmah:
Ini adalah cerita untuk semua orang. Pohon adalah orang tua kita. Ketika kita masih muda, kita senang bermain dengan Ibu dan Ayah … Ketika kita tumbuh dewasa, kita meninggalkan mereka … hanya datang kepada mereka ketika kita memerlukan sesuatu atau ketika kita berada dalam kesulitan. Tidak peduli apa pun, orang tua akan selalu berada di sana dan memberikan segala sesuatu yang mereka bisa untuk membuat Anda bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak laki-laki itu kejam kepada pohon tapi itu adalah bagaimana kita semua memperlakukan orang tua kita.

Sabtu, 07 Mei 2011

ARTI PERSAHABATAN


Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri.
Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya
Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur - disakiti, diperhatikan - dikecewakan, didengar - diabaikan, dibantu - ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.
Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.
Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis. Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.
Ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping kamu?? Siapa yang mengasihi kamu saat kamu merasa tidak dicintai ?? Siapa yang ingin bersama kamu saat kamu tak bisa memberikan apa-apa ??

Ayah, anak dan burung Gagak


Pada suatu sore seorang ayah bersama anaknya yang baru saja menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menunjuk ke arah gagak sambil bertanya,
“Nak, apakah benda tersebut?”
“Burung gagak”, jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun beberapa saat kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi lalu menjawab
dengan sedikit keras, “Itu burung gagak ayah!”
Tetapi sejenak kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak marah dengan pertanyaan yang sama dan diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih keras,
“BURUNG GAGAK!!” Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi mengajukan pertanyaan yang sama sehingga membuatkan si anak kehilangan kesabaran dan
menjawab dengan nada yang ogah-ogahan menjawab pertanyaan si ayah,
“Gagak ayah.......”.
Tetapi kembali mengejutkan si anak, beberapa saat kemudian si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanyakan pertanyaan yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar kehilangan kesabaran dan menjadi marah.
“Ayah!!! saya tidak mengerti ayah mengerti atau tidak. Tapi sudah lima kali ayah menanyakan pertanyaan tersebut dan sayapun sudah memberikan jawabannya. Apakah yang ayah ingin saya
katakan???? Itu burung gagak, burung gagak ayah.....”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah kemudian bangkit menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang terheran-heran. Sebentar kemudian si ayah keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih marah dan bertanya-tanya. Ternyata benda tersebut sebuah diari lama.
“Coba kau baca apa yang pernah ayah tulis di dalam buku diary itu”, pinta si ayah.
Si anak taat dan membaca bagian yang berikut..........
“Hari ini aku di halaman bersama anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya,
“Ayah, apakah itu?”. Dan aku menjawab, “Burung gagak”.
Walau bagaimana pun, anak ku terus bertanya pertanyaan yang sama dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sampai 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayang aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap bahwa hal tersebut menjadi suatu
pendidikan yang berharga.” Setelah selesai membaca bagian tersebut si anak mengangkat
muka memandang wajah si ayah yang kelihatan sayu. Si ayah dengan perlahan bersuara,
“ Hari ini ayah baru menanyakan kepadamu pertanyaan yang sama sebanyak lima kali, dan kau telah kehilangan kesabaran dan marah.”